Bola plastik berwarna terang itu mengapung di atas sungai, makin menjauh.
“Abang, ambilkan bolaku!” rengek
anak perempuan berambut ikal sambil menarik-narik baju anak laki-laki
yang berdiri di sampingnya.
“Maaf, Dik. Tapi Abang kan gak bisa berenang.”
Satu demi satu
air menetes dari mata gadis kecil itu. Ia mulai putus asa. Abangnya
berdiri bingung penuh rasa bersalah. Kalau saja tadi ia tak menggoda
adiknya hingga membuat bolanya terjatuh.
Di seberang
sungai seorang remaja laki-laki yang sedang berenang memperhatikan kedua
kakak beradik yang putus asa menatap bola terapung itu. Dengan tangkas
ia berenang mendekati bola, lalu menggiringnya kembali. Anak laki-laki
itu pun berlari mendekati remaja itu ketika ia telah sampai ke tepi.
Adiknya juga ikut.
“Punyamu?” tanya remaja itu ketika ia keluar dari sungai.
Abang menggeleng. “Bukan, Mas. Punya adik saya.”
“Mainnya jangan
di tepi sungai ya, Dik,” kata remaja itu sambil mengulurkan bola pada si
gadis kecil. Gadis kecil itu mengangguk dan memeluk bolanya erat-erat.
Tanpa berkata apapun dia berlari menuju jalan setapak.
“Terima kasih,
Mas!” ucap Abang sebelum menyusul adiknya. Si remaja laki-laki itu
tersenyum, menatap kedua anak itu berlari-lari menjauhi tepi sungai.
***
Annisa, gadis
kecil berambut ikal itu kini tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik,
baru lulus SMP. Persahabatannya dengan remaja laki-laki bernama Amman
itu berlanjut ketika orangtua Annisa berkenalan dengan Ibu Amman yang
baru pindah.
Nisa duduk di
atas pagar tembok depan rumahnya. Menendang angin sambil sesekali
memanjangkan leher mencari seseorang. Berharap pemuda itu muncul dengan
segera di ujung jalan kampung. Ketika melihat orang itu muncul, Nisa
sudah benar-benar tak sabar. Gadis itu melompat turun, berlari-lari
menyongsong Amman.
“Gimana? Diterima?” tanya Nisa dengan nafas tersengal-sengal.
Amman tertawa. “Kenapa harus lari?” Tangannya mengacak-acak rambut Nisa. “Nisa sendiri gimana? Diterima tidak?”
“Iyalah, Nisa kan juara umum. Sudah pasti diterima. Sekarang Mas sendiri gimana?” ulang Nisa tak sabar.
Amman berhenti
melangkah. Menunduk sedikit agar bisa menatap wajah Nisa yang hanya
setinggi bahunya, sorot mata Amman bersinar menggoda jenaka. “Mmm….”
“Maaas!” Nisa menghentak kakinya. Ia mulai kesal.
Tawa Amman pecah. Ia mengangguk kecil dan mata Nisa langsung membulat.
“Jadi Mas
diterima kerja? Asik!” pekiknya tak percaya. “Terima kasih ya Allah,
berarti nanti malam Mas Amman harus traktir aku ya?”
Amman pun kembali
mengangguk. Nisa memekik girang. Tanpa malu-malu, seperti biasa ketika
hatinya sedang gembira, Nisa menggandeng Amman. Amman pun merangkul bahu
sahabat kecilnya itu.
***
“Kamu tak malu
diantar sama orang jelek kayak Mas?” tanya Amman sedikit keras, melawan
deru suara motor saat membonceng Nisa ke sekolahnya.
Nisa tertawa,
suaranya sedikit tenggelam karena terpaan angin. “Biarin, yang penting
gratis!” jawabnya nyaring. Ia kembali menyandarkan kepalanya ke punggung
Amman.
Amman diam. Ia
berusaha berkonsentrasi menyetir motornya di tengah keramaian jalan yang
padat. Kalau sedang sendirian, Amman tak mudah kehilangan fokus. Tapi
saat dua tangan mungil melingkari pinggangnya, ia harus ekstra
hati-hati. Ia takut menyia-nyiakan kepercayaan Papa Nisa yang menitipkan
putri tunggalnya. Meskipun sulit karena ia juga harus menenangkan
otaknya yang mendadak susah dikendalikan.
Buat Nisa, ini
kesempatannya untuk bisa bersama Amman. Nisa suka Amman, ia sudah
mengikrarkan kata-kata itu di tiap lembar buku hariannya. Nisa masih SMP
ketika ia tahu kekagumannya pada Amman berubah menjadi cinta. Bagi
Nisa, seperti ini sudah cukup.
Dari mengantar,
Amman juga mulai rutin menjemput Nisa dari sekolah. Pertemuan tak
berakhir sampai situ karena di malam hari pun, Amman sering mengajak
Nisa keluar rumah dengan beragam alasan. Mulai menemani membeli buku,
makan-makan di warung pinggir jalan sampai sekedar jalan-jalan di pusat
pertokoan tanpa tujuan. Makin lama makin sering, hingga Nisa pun tak
lagi tahan.
Suatu hari saat
mereka menyusuri pantai, Nisa menulis di atas pasir. Lingkaran berbentuk
hati dan di dalamnya nama Amman. Amman tercengang.
Amman mematung. Ini permainan atau ungkapan? Ia menatap Nisa.
“Mas? Kok diam
sih?” Nisa berdiri di hadapan Amman, mendongak dengan mata bening dan
bibir berkerut menanti jawaban. “Ayo jawab!” tantangnya.
“Maksudmu?” tanya Amman linglung.
“Aku… suka… Mas…
Ammaaaan!” kata Nisa menekankan setiap kata dengan suara yang cukup
keras, membuat beberapa orang menoleh pada mereka.
Amman sibuk
menenangkan jantungnya yang mendadak berdetak cepat. Satu-satunya yang
terpikir hanya memeluknya Nisa. “Saya juga, Nis. Saya cinta kamu.”
Mereka tertawa
berbarengan sebelum saling membisikkan kata-kata penuh cinta. Cinta
mereka bersatu, setelah sekian lama dipagari oleh keraguan. Yang ada di
hati kini hanya satu, bahwa mereka sama-sama saling mencintai.
***
Satu tahun
setelah hubungan mereka berjalan, Amman datang dan duduk menunggu di
ruang tamu Nisa dengan wajah murung. Nisa sangat senang atas kedatangan
Amman malam itu. Beberapa hari terakhir ini Amman melewatkan banyak
kebersamaan. Setiap kali Nisa datang ke rumahnya, Amman selalu tak ada.
Kata Ibu Amman, sekarang pria itu pulang kerja larut malam.
Nisa berharap
alasan kesibukan itu karena sekarang Amman sedang menabung untuk rencana
pernikahan mereka. Nisa memang ingin segera menikah setelah lulus SMU
nanti. Nisa tak mau kuliah karena satu-satunya mimpi Nisa sekarang
adalah menjadi istri Amman.
“Maafkan saya, Nisa. Saya rasa lebih baik sekarang kita menjadi teman saja.”
“Kenapa, Mas?” tanya Nisa bingung. Amman menunduk.
“De, kita ini
terlalu berbeda. Banyak hal diantara kita tidak cocok. Kalau tetap
dipaksakan, nanti pasti akan merugikan kita berdua. Terutama kamu
sendiri.”
“Apa karena perbedaan usia kita?”
Amman mengangguk. “Ya, itu salah satunya.”
“Tapi Mas, kita
hanya berbeda usia delapan tahun. Aku sering lihat banyak kok pasangan
yang berbeda usia sangat jauh tapi bahagia. Kita juga pasti bisa. Selama
ini kita kan tak pernah bertengkar.“
“Nisa….” Amman kehilangan kata-kata.
“Apa karena Mas sekarang mencintai gadis lain? Yang lebih cantik dari aku?“
“Bukan begitu, Nis.“
“Terus apa? Apa salahku, Mas?” cecar Nisa dengan mata yang mulai basah.
Senyuman tersungging di bibir Amman, tawar dan dipaksakan. “Nisa,
maafkan saya. Ini untuk kebaikanmu. Kamu takkan memahami maksud saya.
Tapi ini yang terbaik untuk kita. Mudah-mudahan nanti ada seseorang yang
lebih baik dari saya. Assalamualaikum.”
Nisa tak sempat
membantah atau mencegah Amman pergi. Gadis itu terpaku di sofa, menatap
punggung Amman. Laki-laki itu seakan berlari, ingin segera menjauh dari
Nisa. Tanpa alasan yang jelas, hubungan mereka berakhir. Tanpa tangisan,
tanpa jerit kemarahan, hanya tanda tanya memenuhi benak Nisa.
***
Masih lima belas
menit lagi sebelum pukul lima, tapi beberapa karyawan telah berdiri di
lobby. Berbagi penat setelah seharian bekerja, tertawa bercanda mengusir
kejenuhan sambil menunggu waktu kerja usai. Dengung suara mereka
mengobrol terdengar hingga ke ruangan Nisa yang masih sibuk. Beberapa
rekan kerjanya lewat, menyapa dan salah satunya mengajak Nisa pulang
bersama. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum. Sama seperti biasanya,
ia menolak.
Ada seseorang
yang selalu ditemui Nisa setiap pulang kerja. Seseorang yang tinggal di
rumah dimana ia telah menitipkan sebagian harapan dan mimpinya selama
ini. Ibu Amman. Amman telah pergi jauh sekali dari Nisa. Sejak putus
dari Nisa, Amman memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di Amerika.
Lelaki itu tak pernah pamit pada Nisa, atau sekedar menulis surat untuk
memberitahu.
Satu-satunya
penyejuk hati Nisa kala itu hanyalah Ibu Amman, yang tetap ramah
menyambut kedatangannya bahkan membiarkan Nisa menangisi kepergian Amman
yang tiba-tiba di pangkuannya. Di tengah derai airmata, Nisa menyesal
selama ini tak pernah mengabadikan kebersamaan mereka melalui foto.
Dulu, Amman selalu beralasan karena ia malu terlihat jauh lebih tua dari
Nisa. Nisa benar-benar menyesal tak pernah memaksa Amman untuk
melakukannya.
“Sekarang kau punya foto Amman, Nis. Ambillah sebanyak yang kau mau!” Ibu menyerahkan beberapa album foto padanya. “Pilih saja, ibu mau sholat dulu.”
Keadaan rumah
begitu hening, saat Nisa tenggelam dalam kenangan demi kenangan yang
terukir dalam album foto itu. Foto Amman saat ia mengenakan toga, ada
pula foto-foto saat bersama teman-teman atau orangtuanya.
Gadis itu duduk
di kursi, seolah ingin merekam setiap peristiwa yang terekam dalam
foto-foto itu. Foto-foto itu diambil beberapa tahun sebelum Amman pergi,
jauh sebelum ayahnya meninggal dunia. Setelah Ayahnya tiada, Ibu dan
Amman jarang mengabadikan gambar karena mereka sibuk bertahan hidup.
Lama sekali,
sampai malam hampir tiba. Nisa masih saja duduk memandangi foto-foto
itu. Hanya seorang wanita yang benar-benar mencintai seorang pria
sepenuh hatinya, yang mau memandangi foto-foto tua yang mungkin tak
terlalu sama lagi dengan orangnya yang telah dewasa. Bahkan Ibu Amman
pun tak tega. Ia meminta Nisa sering datang ke rumah untuk menemaninya
atau setidaknya bicara tentang Amman agar bisa mengurangi kesedihan
Nisa. Karena Ibu Amman, Nisa mampu melewati masa-masa keterpurukannya
itu.
“Dia sekarang kuliah, Nis. Ambil S2 Engineering, sibuk katanya,” jawab Ibu beralasan ketika Nisa bertanya kenapa Amman tak kunjung pulang di tahun kedua.
Namun tahun-tahun
selanjutnya berlalu dengan cepat. Alasan Amman selalu sama. Sibuk
bekerja dan kuliah. Hingga Nisa selesai kuliah dan mendapat pekerjaan.
Amman tak kunjung pulang.
Kini, Mama Nisa
telah tiada dan Ibu Amman ditemani seorang perawat pribadi. Paman Amman
membantu pemuda itu memastikan Ibunya tetap terurus dengan baik.
Walaupun sudah ada perawat bernama Melati, Nisa tak pernah menghentikan
kunjungannya.
Seperti biasa,
Ibu duduk menanti di atas kursi roda. Wanita itu tersenyum saat melihat
Nisa memasuki pagar rumah. Suaranya yang lirih meminta Melati mendorong
kursi roda mendekati Nisa. Nisa membungkuk, mencium tangan wanita yang
sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu lalu bersimpuh di hadapannya.
“Apa kabar Mbak? Ibu gimana hari ini? Beliau sudah makan?” Nisa mendongak, menatap Melati yang menjawab dengan gelengan.
Tak sampai lima
menit, Nisa sudah duduk sambil menyuapi Ibu. Sesekali tangan Nisa
merapikan anak rambut Ibu yang berjatuhan di pipinya agar tidak
termakan. Tanpa banyak lagi kata-kata yang mengalir seperti dulu. Usia
memakan kekuatan Ibu untuk bicara dan bergerak, tapi tak sedikitpun
mengurangi sinar kasih sayang dalam sorot matanya. Gadis kecil itu kini
telah menjadi perempuan dewasa. Ibu sayang padanya dan mulai membangun
harapan agar kelak saat Amman pulang, anaknya mau melamar gadis itu
sebagai menantunya.
“Am..man a..kan pu..lang, Nis,” gumam Ibu terbata-bata.
Tangan Nisa
berhenti di udara. Ia termangu. Berita itu bagai gong yang tiba-tiba
berbunyi menggema di tiap sudut hatinya. Nisa tak tahu harus bagaimana
bersikap. Antara bingung, shock dan senang. Ia hanya menunduk diam.
Tapi ketika
melangkah pulang, tangan Nisa tak bisa berhenti gemetar. Ia masih tak
percaya dan terus berdoa semoga ini bukan mimpi. Tanpa peduli tatapan
heran Papa, Nisa berlari masuk ke kamarnya.
Foto Amman
terpajang rapi di atas meja. Pemuda itu sedang berdiri dengan gagah
memakai toganya. Nisa memeluk foto itu penuh sukacita. Ya Allah, terima kasih. Bawalah dia pulang dalam keadaan sehat.
Malam itu, Nisa bahkan tersenyum dalam tidurnya. Ia senang, penantiannya akan segera berakhir.
***
Hampir saja dada
Nisa meledak. Sepanjang hari ia duduk gelisah di depan rumah.
Harap-harap cemas menatap ke ujung jalan kampung, menunggu.
Bertahun-tahun lalu, ia pernah seperti ini. Nisa hampir melupakan
rasanya sampai hari ini.
Dari ujung jalan,
muncul sebuah sedan berwarna putih. Nisa berdiri, melongok mencari
tahu. Salah satu tetangga Nisa, Pak Soleh yang sedang lewat depan
rumahnya juga ikut berhenti untuk melihat. Mereka sama-sama menatap
bingung pada sedan yang tak pernah mereka lihat sebelumnya itu.
Sedan itu
berhenti tepat di sisi Pak Soleh yang masih berdiri. Pintu mobil di
bagian depan terbuka, seorang pria berjaket coklat dan bercelana hitam
keluar. Ia mengangguk lalu tersenyum pada Pak Soleh. Seorang wanita
berjilbab hitam juga muncul dari balik pintu penumpang. Juga mengangguk
hormat pada pria tua itu.
“Assalamualaikum, Pak Soleh. Apa kabar“? sapa si pria berjaket coklat itu sopan sebelum menyalami Pak Soleh. “Masih ingat saya, Pak? Saya Amman.”
Mulut Pak Soleh menganga tak percaya. “Wa allaikum salam, Amman? Anaknya Bu Dirman? Oaaalaah, sampai pangling saya. Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang juga. Sudah berapa putramu sekarang, Nak?”
Amman tersipu. “Belum,
Pak. Saya belum berkeluarga. Saya baru mau bertemu ibu, membicarakan
soal itu. Doakan saja tahun ini saya bisa segera menikah. Oh ya Pak,
kenalkan ini teman saya.” Ia menoleh pada gadis berjilbab hitam itu.
Gadis berjilbab
itu mengenalkan diri. NurAini namanya. Sahabat Amman ketika mereka
kuliah di Amerika. Dengan tutur bahasa halus, NurAini menyapa Pak Soleh
yang tak bisa menyembunyikan kekaguman melihat wanita cantik dan anggun
itu. Tanpa perlu disebutkan, siapapun tahu bahwa gadis ini pasti calon
istri yang akan diperkenalkan Amman pada Ibunya.
Mereka tak
menyadari kehadiran Nisa, yang perlahan-lahan mundur dan bersembunyi di
balik tembok pagar. Ia tak bisa bertemu Amman saat ini. Tidak ketika
seluruh hatinya sedang remuk, mendengar kabar yang tak sengaja ia
dengar. Nisa hanya ingin berlari masuk ke kamarnya yang sunyi, menangisi
kehilangannya.
***
“Maafkan Papa, Nisa,”
bisik Papa saat Nisa sedang berjongkok membersihkan mawar-mawarnya dari
rumput liar. Hanya hembusan nafas Nisa yang terdengar. Ia tetap diam.
Tangannya tetap bergerak bekerja tanpa mempedulikan kehadiran Papa.
Berkali-kali
kata-kata itu keluar dari mulut Papa. Nisa benar-benar tak bisa percaya
ketika Papa menceritakan masa lalu yang selama ini ditutupinya.
Putusnya hubungan
antara Nisa dan Amman, karena Papa yang meminta. Pria paruh baya itu
menganggap hubungan Amman dan Nisa hanya cinta monyet biasa. Usia mereka
terpaut terlalu jauh. Keputusan Nisa untuk tidak kuliah sungguh
mengecewakan Papa. Papa yakin, suatu hari nanti Nisa akan menyesali
keputusannya sendiri kalau tetap dibiarkan. Karena itulah, Papa meminta
Amman memutuskan hubungan mereka.
Nisa ingin marah.
Ingin menyalahkan Papa untuk semua tangis dan kesedihannya. Tapi untuk
apa. Papa tak sepenuhnya bersalah. Sejak hubungannya berakhir, Nisa
mengubah keputusannya. Ia bisa hidup mandiri. Satu hal yang selalu ia
syukuri adalah kehadiran Ibu Amman, yang sedikit demi sedikit berhasil
mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Mama. Meskipun cintanya tak
berakhir bahagia, Nisa ikhlas.
Tapi, tiap kali
Papa meminta maaf itu seperti membuka luka lama. Tiap kali ingat,
kesedihan selalu menggelayuti hati Nisa. Yang ia lakukan hanya diam,
menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tak ada gunanya menangisi kegagalan
cinta.
Nisa beranjak
dari bunga-bunganya. Tanpa sadar ia berjalan sampai di depan rumah
Amman. Sama seperti hari sebelumnya, ia selalu bersembunyi di balik
pohon sambil memperhatikan Amman dari jauh diam-diam.
Sudah saatnya
untuk melepaskan semuanya sekarang. Amman adalah masa lalu, mantan
kekasih yang harusnya dilupakan. Nisa pun berbalik. Melangkah pulang
sambil menghitung waktu yang ia habiskan selama ini untuk menunggu.
“Nisa!” Tubuh Nisa membeku. Suara itu, suara Amman. Suara langkah kaki Amman mendekat terdengar.
“Kok tidak pernah
ke rumah lagi? Bukannya setiap hari kamu biasa ke rumah?” Nisa tak
menjawab. Ia tak berani menatap wajah Amman yang berdiri di hadapannya.
“Apa foto-foto tua saya lebih menarik dibandingkan orangnya yang asli?”
Kepala Nisa terangkat. “Apa sekarang kamu sudah mulai menyesal menunggu
saya? Jadi lamaran saya nanti malam sudah pasti ditolak?” tanya Amman
sambil membungkuk sedikit agar wajahnya sejajar dengan wajah Nisa.
Bibir Nisa
bergetar. Ia menutupi mulutnya dengan tangan. Tanpa suara, satu persatu
airmatanya berjatuhan. Amman kembali. Untuk dirinya.
NurAini yang
menyadarkan Amman bahwa cinta tak perlu memandang perbedaan. Dalam
cinta, yang sama tak selalu berhasil, yang berbeda pun tak selalu gagal.
Bahkan sahabat Amman itu pula yang ingin membantu menjelaskan pada Papa
Nisa, meski ternyata itu tak lagi perlu.
Tak ada kata-kata
yang bisa Annisa ucapkan, selain membiarkan Amman memeluknya sambil
meminta maaf, untuk penantiannya, untuk segalanya.
Note : Di balik cerita
Tadinya pengen diikutsertakan dalam sebuah lomba menulis dengan mengirimkan maks. 5 karya, tapi itu artinya saya harus membuat sad ending. Bikin dua yang sad ending aja udah cape jadi ikut sedih, jadi ini saya batalin dan mengakhiri dengan happy aja… So Happy Weekend!!!
Sumber Asli,
Bundaiin.blogdetik.com
*****thank's*****