Gadis itu melangkah dalam gang kecil
sempit yang ramai, ada beberapa ibu-ibu sedang mengerubuti gerobak si
tukang sayur, ada anak kecil berpakaian seragam sedang tertawa-tawa,
bercanda sambil berjalan beriringan di depannya. Tampak sesekali motor
melintas dan melewati gadis itu dipacu hati-hati oleh pengemudi yang
berjuang menstabilkan kendaraannya di jalanan yang berbatu dan berlubang
di mana-mana.
Gadis bernama Larasati itu tetap berusaha
berjalan di tepi meski tubuhnya hampir bersentuhan dengan dinding
tembok tinggi gedung besar yang berada di sebelah gang itu. Ia takut
menghalangi jalan motor-motor yang mau lewat, ia kuatir tubuhnya
tersenggol ibu-ibu yang berbelanja sambil mengobrol dengan asyik, ia
takut kalau semua itu benar-benar terjadi dan terpaksa bersuara,
anak-anak yang tertawa gembira di depannya akan ketakutan mendengarnya
dan berlari di atas batu-batu tajam itu.
Bajunya terkena noda air AC yang jatuh
menetes dari dinding gedung. Laras hanya tersenyum, menepuk sedikit
untuk mencegah tetesan lain singgah ke pundaknya sambil bergegas
melanjutkan langkah. Tak apalah, yang penting ia kini hampir sampai di
depan gang.
Tepukan di bahu Laras membuatnya menoleh.
Gadis manis itu tersenyum pada seorang ibu tua. Ibu penjaja nasi uduk
keliling. Laras mengangguk hormat.
“Sudah sarapan? Mau beli?” Bibir si ibu bergerak-gerak bertanya sambil menunjukkan keranjang besar yang ditentengnya.
Laras kembali mengangguk. Tangannya
mengambil uang dari dalam kantung seragam kerjanya. Lembaran lima ribuan
pun berpindah ke tangan si ibu, yang menggantinya dengan salah satu
bungkusan nasi uduk dalam kantung plastik kecil. Laras memasukkan
plastik berisi bungkusan nasi uduk ke dalam tas ranselnya.
Dengan senyum tak lepas dari wajahnya,
Laras kembali berjalan lebih ke tepi. Tepat saat itu melintas bis kota
yang ia tunggu. Tangannya berayun-ayun menyetop dan dengan tergesa ia
melompat naik. Belum lagi ia duduk, bis sudah kembali berjalan membuat
tubuh Laras bergoyang. Tangannya mencengkeram kuat sandaran kursi
penumpang sebelum menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi yang
kosong. Bis bergerak pelan, sesekali berhenti ketika penumpang naik dan
turun. Berganti-ganti. Tapi karena hari baru dimulai, lebih banyak yang
naik daripada turun. Tak heran, tak sampai beberapa menit, bis kosong
itu kini mulai disesaki penumpang.
Laras yang sedari tadi menatap keluar
jendela, pun menoleh meliriki para penumpang yang berdiri. Seorang ibu
hamil berdiri dekat pintu bis, tampak susah payah berpegangan dengan
kedua tangannya. Wajah perempuan itu memerah. Sesekali ia memegangi
perutnya seakan melindungi agar tak terjepit oleh tubuh-tubuh yang
berdiri di belakangnya karena terdorong oleh gerakan bis yang
kadang-kadang mengejutkan.
Seperti sadar sedang diperhatikan,
tatapan Laras bertemu dengan si ibu hamil yang menoleh padanya. Laras
tersenyum padanya dan memberi isyarat ‘mau duduk di sini?’
dengan gerakan tangan menunjuk ke kursi dan ibu muda itu pun mengangguk.
Laras pun berdiri dan bergerak maju. Tapi seorang pemuda tanggung
langsung menempati kursi kosong itu tanpa bertanya-tanya.
“Haaai!! Peegiii!!!! Iiittuuu!” Suara lantang Laras mengejutkan semua orang tak terkecuali si ibu hamil yang kelihatan shock.
Laras tak peduli. Tangannya bergerak-gerak memberi isyarat menunjuk ke
arah si ibu hamil dengan mata melotot pada pemuda itu. Tatapan terkejut
orang-orang mendengar suara aneh keras yang dikeluarkan Laras pun
beralih pada si pemuda. Pemuda itu tampak malu dan kembali berdiri. Lalu
si ibu hamil pun duduk.
Si Ibu hamil menghela nafas lega sambil
mengelus perutnya. “Amit amit jabang bayi,” bisiknya sambil menoleh ke
arah lain. Tak sedikitpun si ibu hamil itu menatap ke arah Laras lagi.
Mungkin dia takut anak yang dikandungnya akan seperti Laras hingga tak
berani melihat ke arah Laras, meski sekedar mengucapkan terima kasih.
Laras hanya tersenyum. Kembali
berkonsentrasi menatap jalan raya yang mulai macet. Ia sudah terbiasa.
Ditatap dengan aneh bahkan terkesan jijik. Bahkan terkadang berusaha
dihindari. Laras sudah tahu, inilah yang terjadi kalau mereka mendengar
suaranya yang lebih terdengar seperti lenguhan.
Satu dua penumpang mulai turun. Laras
mulai bersiap-siap dan memperhatikan halte yang telah dilewati. Dua
halte lagi, ia akan sampai ke tujuannya dan Laras mengeluarkan uang koin
dari sakunya.
Tepat ketika bis hampir sampai, Laras
mengetuk-ngetuk koin ke salah satu besi sandaran kursi. Bis berhenti dan
Laras pun turun dengan langkah cepat. Ia tak mau terjatuh lagi karena
ketidaksabaran si sopir yang sedang mengejar setoran. Dulu ia pernah
mengalaminya dan lama sekali luka karena kakinya yang patah bisa sembuh.
Sekarang sesekali rasa ngilu selalu datang kalau ia terlalu banyak
berjalan.
Di depan gedung kantor tempatnya bekerja,
Laras berhenti dan matanya beredar mencari-cari. Seseorang yang
dicarinya sedang duduk sambil berkipas, bersandarkan pagar tembok batu
yang bertuliskan nama gedung di belakangnya. Laras mendekati lelaki
berseragam oranye itu. Ketika sampai, Bapak itu menyadari kedatangan
Laras dan tersenyum lebar. Laras membalasnya sambil mengeluarkan kantung
plastik berisi nasi bungkus. Bapak itu menerimanya dan berterima kasih.
Laras hanya tersenyum lalu kembali menuju gedung kantornya lagi.
Laras masuk melalui pintu pejalan kaki. Ada pos keamanan yang ia lewati sambil menunjukkan badge karyawan, seorang petugas mengangguk padanya sementara dua petugas lain sibuk memeriksa salah satu mobil yang sedang masuk.
Dekat pintu masuk, Laras berbelok.
Memasuki sebuah pintu yang membawanya turun ke bagian parkir bawah
tanah. Suasana masih sedikit gelap dan sepi. Hanya terlihat beberapa
karyawan lain juga memasuki pintu yang sama. Tapi tidak seperti yang
lain, Laras tidak langsung memasuki ruangan kecil tetap para petugas cleaning service
berganti pakaian. Ia menuju ruang mushola kecil yang tampak berantakan.
Tangannya yang mungil sibuk mengumpulkan mukena yang teronggok di sudut
ruangan dan memasukkannya dalam plastik, merapikan buku-buku tuntunan
sholat dan Al Qur’an yang dimasukkan dalam lemari terbuka secara
asal-asalan. Setelah itu, ia mengambil bungkusan plastik dari dalam tas
ranselnya yang berisi mukena yang baru dicuci dan digantungnya dengan
rapi di sudut shaf wanita. Dirapikannya letak karpet bergambar sajadah
berjajar itu. Ia juga menyemprot dan menyikat tempat air wudhu yang
lantainya kecoklatan karena bekas jejak-jejak kaki, mengganti plastik
tempat sampah depan mushola yang sudah penuh dengan yang baru. Senyumnya
mengembang puas melihat hasil kerjanya sebelum kembali menuju ruangan
tempat para petugas cleaning service.
Kepala Laras menunduk sedikit. Hanya satu
dua kali senyum tipisnya terlihat ketika berpapasan dengan rekan
kerjanya. Seperti biasa, ia selalu menghindari meeting pagi. Meeting
yang membahas pembagian tugas. Seperti biasa pula, ia selalu
mendapatkan tugas terberat. Tapi Laras lebih suka seperti itu. Karena
tugas berat akan membuatnya sibuk seharian, tidak sempat disuruh-suruh
oleh para karyawan gedung kantor yang suka marah padanya karena
ketidakmampuannya. Meski bukan rahasia lagi, sebagian petugas cleaning service lebih suka melayani perintah para karyawan itu dibandingkan mengerjakan pekerjaan utama mereka.
“Lebih enak disuruh beli sarapan atau
makan siang daripada kerja. Bisa dapet tambahan uang lagi.” Begitu
alasan mereka. Alasan yang tak pernah didengar Laras, namun dipahaminya
berkat pengalamannya selama ini.
Tapi itu berbeda untuk Laras. Dia lebih
sering dimarahi karena para karyawan itu tak suka mendengar suaranya,
tak suka karena proses komunikasi sepuluh kali lebih berat dibandingkan
petugas yang lain. Karena itulah, Laras selalu menerima saja apapun
tugas yang tersisa untuknya.
Tanpa melihat papan pembagian tugas pun
Laras tahu apa yang harus ia kerjakan. Dengan santai, ia berganti
pakaian dan mengambil peralatannya.
Hujan rintik membasahi sebagian teras
gedung ketika Laras pulang kerja. Sebagian karyawan kantor masih
terlihat duduk-duduk di lobi, yang lain menunggu di depan teras sambil
merokok menghangatkan tubuh. Untunglah, Laras selalu membawa payung
kecil. Dan ia pun menoleh pada teman-temannya yang berdiri berjajar
berteduh di bawah kanopi parkiran.
“Um…” bisiknya sambil menunjuk pada payungnya.
Temannya menggeleng, yang lain juga. Salah satu menjawab, “Udah, gak usah!”
Laras hanya tersenyum. Dan membuka payungnya. Ia melangkah menuruni tangga teras gedung ketika seseorang menepuk bahunya.
“Hei! Aku ikut sampe halte!” kata pria itu sambil menerobos ke sebelah Laras, melindungi kepalanya dari rintik hujan.
Tubuh Laras menegang. Ia tak biasa
berdiri begitu dekat dengan pria selain berhimpitan dalam bis. Tapi pria
itu sudah melangkah dan Laras harus berjuang keras mengikuti langkahnya
yang cepat dan tergesa-gesa. Akibatnya justru sebagian pundak dan
celana panjang Laras tersiram air hujan.
Begitu sampai di halte, si pria berlari
melompat menghindari genangan air namun memercikkan air hujan ke wajah
Laras, sebelum akhirnya menghilang di antara kerumunan orang-orang yang
berteduh di halte. Tanpa terima kasih atau setidaknya senyuman yang
ramah.
Laras tak sempat mencarinya karena tepat
saat itu bisnya lewat. Ia pun segera berlari berusaha cepat untuk bisa
masuk ke pintu bis. Meski kali ini ia harus berdiri, Laras bersyukur ia
masih bisa ikut menumpang.
Hujan membuat jalanan makin macet.
Seliweran motor-motor yang tak lagi peduli guna trotoar sesungguhnya,
semakin menambah semrawut suasanan jalanan. Keluhan, makian dan sumpah
serapah saling berpacu di antara deru gas kendaraan. Suara hujan yang
khas dan udara dingin yang menyertainya tak lagi terdengar atau terasa,
karena di dalam bis yang padat penumpang, justru terasa menyesakkan dan
panas.
Laras memilih turun dekat rel kereta api
ketika bis terhenti karena papan rintang. Ia tak tahan lagi dan lebih
memilih turun walaupun harus berjalan kaki sedikit. Dadanya terasa sesak
menghirup udara penuh asap rokok dari seorang Bapak yang tak peduli
kehadiran orang lain di dalam bis. Tapi tangannya tak sempat membuka
payung karena bis sudah hampir melaju lagi ketika ia turun. Ia pun
berlari kecil menuju sebuah warung. Warung yang juga dipenuhi
orang-orang berteduh. Suara sirene peringatan kereta lewat masih
mengaung nyaring.
Laras berdiri di antara kerumunan sambil
melirik ke dalam warung nasi tegal yang juga penuh di bagian dalam. Ia
ingin membeli makanan untuk makan malam tapi suasana di dalam
kelihatannya tak mengizinkan karena penuh sesak. Laras pun tetap berdiri
di luar, memperhatikan hujan sambil menunggunya reda.
Apa kabar Ibu dan adik-adikku di panti sekarang?
Apa mereka masih suka bermain hujan?
Dahlia yang manis, sudah seperti apa dia sekarang? Atau Elok yang
bandel, masihkah dia suka menjahili Sandra dan Risma yang cengeng?
Bibir Laras bergerak tersenyum. Mengingat
adik-adiknya di panti asuhan yang menjadi tempat tinggalnya dulu sejak
dibuang orangtuanya. Mereka selalu bisa membuatnya tersenyum. Adik-adik
yang terpaksa ia tinggali untuk bisa bekerja. Merekalah keluarganya,
orang-orang yang selalu mengingatkannya kalau Laras tak pernah hidup
sendiri di dunia ini. Dalam dunianya yang hening dan sepi, dalam
kebisuan yang takkan pernah berujung.
Mata Laras menangkap sesuatu yang ganjil.
Sebuah batang besi tampak tergeletak melintang di salah satu rel. Tak
terlihat karena rintik hujan dan posisinya sedikit terlindung. Laras
terkesiap. Sebentar lagi kereta akan melewati rel itu dan letak batangan
besi lumayan besar yang tampak sedikit menancap itu bisa membahayakan
kereta.
Tanpa peduli rinai hujan yang makin
deras, Laras berlari menerobos hujan. Ia berlari mendekati batang besi
besar itu dan berusaha mengangkatnya. Berat. Laras berdiri.
Berteriak-teriak meminta bantuan. Tak ada seorang pun yang datang karena
mereka malah menatapnya kaget mendengar suaranya yang aneh. Laras
berusaha lagi. Rupanya kali ini beberapa pria melihat yang ia lakukan
dan mereka mulai berlarian mendekati Laras. Sekuat tenaga Laras tetap
memeluk batang besi itu dan berhasil. Meski hanya menggeser beberapa
senti, tapi besi itu tak lagi berada di dalam rel.
Tapi Laras tak mendengar suara teriakan
orang-orang yang memperingatkannya kalau kereta akan lewat. Laras tak
mendengar apapun, bahkan suara sirene yang meraung-raung, suara petugas
yang terus berteriak memperingatinya. Ketika kereta sudah begitu dekat,
Laras baru menyadari kehadirannya. Kakinya spontan melompat menghindar.
Ia bergerak menuju rel kosong di sebelah rel yang akan dilewati kereta.
Berhasil.
Sayangnya, kaki Laras terpeleset saat
menjajaki batu-batu yang basah di sekeliling rel. Tubuhnya terhempas,
dan kepalanya membentur keras rel kereta. Darah mengalir deras keluar
dari bagian belakang kepala Laras.
Laras masih berkedip ketika tetes-tetes
air hujan mulai membasahi wajahnya. Ia masih bisa merasakan dinginnya
air segar, rezeki Allah SWT yang mengiringi nafasnya yang mulai berat.
Tiba-tiba Laras merasa lelah. Ia ingin tidur, tenggelam abadi dalam
dunia yang hening, terbaring dalam diam. Ia ingin kembali, ingin ke
tempat di mana ia tak perlu lagi melihat tatapan mengejek, ingin tahu
atau menghina. Ia tak perlu takut lagi, karena di sana ia tahu surga
sesungguhnya sedang menunggu.
Laras tahu, di balik ketidaksempurnaannya
sebagai manusia, Allah sedang melindunginya dari kejahatan karena kedua
panca inderanya yang tak pernah ia ketahui.
Laras bersyukur di sela nafas
terakhirnya. Karena ia tak mendengar teriakan panik orang-orang yang
ingin menolongnya. Laras bersyukur ia tidak bisa mendengar sejak lahir
dan menjadi bisu karena tak tahu apa itu suara. Laras bersyukur karena
ketika malaikat kematian itu mulai menutup bayang-bayang penglihatannya,
ia sama sekali tidak takut. Kematian itu menyakitkan, namun tak
menggentarkan hati Laras yang pasrah.
Ia benar-benar diam ketika bayang-bayang
gelap sempurna menutupi pandangannya lalu nafasnya yang menderu pun
berhenti. Esok pagi, si ibu penjaja nasi uduk akan kehilangan pelanggan
setianya yang sebenarnya selalu sarapan pagi setiap hari dan Bapak
penyapu jalan tak lagi kebagian jatah sarapannya, musholla akan
berantakan dan entah siapa lagi yang akan mau membersihkannya dengan
ikhlas. Mereka yang selama ini selalu berharap pada bantuan Laras, esok
akan sadar kalau ia sudah tak ada. Ia telah pergi, di tengah rinai hujan
yang menangisi kepergian si bidadari baik hati.
*****